11 April 2008

Bakteri, Biang Keladi Keracunan Makanan

Oleh: ARDA DINATA
BERDASARKAN data pemberitaan berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, selama tiga tahun ke belakang pernah terjadi kasus keracunan makanan yang terjadi di beberapa kota. Sebut saja kasus keracunan makanan yang dialami karyawan pabrik di Kota Jakarta, Bogor, Kendari, Bekasi, dan keracunan pada anak sekolah di Kota Bandung, dll.

Kalau diteliti, secara umum keracunan makanan dapat terjadi apabila di dalam makanan terdapat racun (toksin), baik kimiawi maupun intoksikasi. Sumbernya beragam. Bisa dari racun jaringan tanaman, racun jaringan hewan, dan racun dari mikroorganisme. Jelasnya, keracunan makanan dapat disebabkan oleh adanya racun dari mikroorganisme yang mengontaminasi makanan, racun alamiah yang terdapat dalam jaringan hewan atau tanaman, dan dari bahan kimia beracun yang terdapat dalam makanan. Berikut ini adalah beberapa bakteri yang menyebabkan terjadinya keracunan makanan dan minuman.
BOKS EBOOKS RESELLER SUKSES HIDUP ANDA:

Pertama, Clostridium botulinum. Bakteri ini bertanggung jawab pada timbulnya keracunan makanan yang sering disebut botulism (botulin). Racun bakteri ini sangat berbahaya dan berakibat fatal bila terkonsumsi manusia. Sebagai gambaran, hanya dengan satu sendok teh (sekira 4 gram) racun botulin murni dapat menyebabkan kematian bagi 400.000 – 500.000 orang (Cichy, 1984). Dikatakan berakibat fatal karena kandungan toksinnya dapat menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot tak sadar.

Bakteri Clostridium botulinum merupakan bakteri yang berbentuk batang. Bakteri ini juga dapat membentuk spora dan ia sangat tahan terhadap panas. Bakteri ini tersebar luas dalam tanah, air yang terkontaminasi, debu, buah-buhan, sayuran, madu, dan lainnya. Perkembangbiakan bakteri ini sangat pesat pada suhu sedang (kondisi anaerob), seperti pada makanan kaleng yang proses pemanasannya tidak memadai. Bahayanya lagi, pada kondisi kedap udara, bakteri ini dapat membentuk gas.

Adapun gelaja-gejala awal keracunan bakteri Clostridium botulinum adalah gangguan pencernaan akut, mual, muntah, diare, demam, pusing, mulut terasa kering, lemah fisik dan mental (falig). Kondisi ini bisa berlanjut berupa pandangan menjadi kabur, sulit menelan dan berbicara, kelumpuhan otot yang kemudian menyebar pada sistem pernapasan dan jantung, serta bisa menyebabkan kematian akibat kesulitan bernapas. Waktu inkubasinya antara 2 jam sampai 14 hari, dan umumnya antara 12 –36 jam.

Untuk menghambat pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum, bisa dilakukan dengan penambahan garam pada makanan sebesar 8 persen. Atau bisa juga dengan penyimpanan makanan pada suhu rendah. Selain itu, produksi toksin dan pertumbuhan bakteri ini dapat terhambat bila pH makanan lebih rendah dari 4,5. Selanjutnya, meskipun bakteri ini tahan panas, tetapi toksin yang dihasilkannya akan rusak selama proses pemanasan. Artinya, proses pemanasan makanan sebelum dikonsumsi merupakan tindakan pencegahan utama terhadap keracunan botulism.

Kedua, Pseudomonas cocovenenans. Bakteri ini sering mengontaminasi proses fermentasi tempe bongkrek. Tempe bongkrek adalah jenis makanan tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dasar ampas kelapa dan difermentasi oleh jamur tempe (Rhizopus oligosporus). Bakteri Pseudomonas ini dapat menghasilkan dua jenis racun yang mematikan manusia, yaitu toksoflavin dan asam bongkrek. Bagi mereka yang ‘mengonsumsi’ toksin pada dosis tinggi dapat menyebabkan kematian dalam waktu kurang dari empat hari setelah mengonsumsi racun tersebut.

Pertumbuhan Pseudomonas sebenarnya dapat dihambat, yaitu dengan menurunkan pH ampas kelapa yang akan difermentasi sampai 5,5. Pada pH ini jamur tempe yang diinginkan pun masih tetap dapat tumbuh dengan baik, sedangkan bakterinya akan terhambat.

Ketiga, Staphylococcus aureus. Bakteri ini banyak ditemukan pada tubuh manusia, seperti di ingus, dahak, tangan, kulit, luka terinfeksi, bisul dan jerawat, serta pada feses dan rambut. Lebih jauh, keberadaan bakteri ini, justru diperkirakan terdapat pada 20 persen orang dengan kondisi kesehatan yang tampaknya baik.

Sementara itu, makanan dapat terkontaminasi bakteri Staphylococcus ini adalah setelah proses pemasakan, dari pekerja yang terinfeksi. Adapun jenis makanan yang dapat menjadi sumber infeksi adalah makanan hasil olahan daging/unggas, ham, krim, susu, keju, saus, kentang, ikan dan telur masak, serta makanan dengan kandungaan protein yang tinggi lainnya.

Secara umum, bakteri ini tidak tahan panas. Namun, racun yang dihasilkannya sangat tahan panas, sehingga tidak dapat dihancurkan dengan pemanasan yang biasa digunakan pada pemasakan. Bahayanya, racun tersebut biasanya tidak menyebabkan perubahan tekstur, warna, bau, kenampakan, ataupun perubahan rasa makanan, sehingga tidak dapat terlihat secara fisik. Kondisi seperti inilah yang sering kali mengecohkan konsumen.

Adapun gejala-gejala yang ditimbulkan dari keracunan Staphylococcus aureus yaitu kejang perut, mual, muntah, pusing, diare berdarah dan mengandung lendir, kejang otot, berkeringat dingin, lemas, nafas pendek, dan suhu tubuh dibawah normal. Gejala keracunan ini akan hilang setelah 1 atau 2 hari, dan jarang menyebabkan kematian. Sementara itu, keracunan jenis ini dapat dicegah dengan melakukan tiga prinsip, yaitu menghindari kontaminasi makanan oleh Staphylococcus, menghambat pertumbuhannya, dan membunuh bakteri tersebut dalam makanan.

Keempat, Bacillus cereus. Beberapa starin dari bakteri ini, ternyata mampu menghasilkan toksin dalam makanan. Keberadaan racun ini menimbulkan keracunan dengan gejala pusing-pusing, sakit perut, muntah-muntah, dan diare. Waktu inkubasinya pendek (15 menit – 16 jam setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi bakteri ini). Gejala ini akan menghilang dalam waktu satu hari atau kurang. Keberadaan bakteri Bacillus ini banyak terdapat dalam tanah, debu, biji-bijian, dan sayuran. Sementara itu, produk makanan yang sering terkontaminasi adalah produk daging, sayuran, nasi, dan nasi goreng.

Di sini, yang patut diperhatikan adalah karena bakteri ini mampu membentuk spora tahan panas, maka pencegahan keracunannya yaitu dengan mengonsumsi makanan sesegera mungkin setelah dimasak. Hal ini dimungkinkan karena bakterinya belum sempat membentuk racun. Dan bila karena sesuatu hal dilakukan penundaan antara proses pemasakan dan konsumsi, maka sebaiknya makanan disimpan pada suhu rendah (kurang dari 7 oC) atau pada suhu di atas 71 oC. ***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
ADA EBOOK GRATIS SEBAGAI BONUS YANG WAJIB ANDA BACA:

Tidak ada komentar: